Di dunia ini, ada satu bahasa yang belum pernah diteliti hingga abad ke-19, yaitu bahasa Non-Austronesia di Semenanjung Sanggar di Pulau Sumbawa, sering disebut sebagai Tambora. Kendala untuk menindaklanjuti penelitian ini adalah fakta bahwa bahasa tersebut bersama penuturnya telah musnah akibat letusan gunung api raksasa tahun 1815.Yaitu LETUSAN GUNUNG TAMBORA
Mark Donohue, peneliti bahasa Austronesia dan Papua dari Centre for Research on Language Change Universitas Nasional Australia(ANU), mengungkapkan itu dalam publikasinya yang berjudul, ”The Papuan Language of Tambora”, Oceanic Linguistics Volume 46, Nomor 2, Desember 2007.
Donohue barangkali terlewatkan dengan kenyataan tentang masih bertahannya Kerajaan Sanggar setidaknya rajanya pascaletusan Tambora. Padahal, seperti dikutip Thomas Stanford Raffles dalam ”History of Java”, 1830, Raja Sanggar selamat dari letusan dahsyat waktu itu, walaupun dia harus mengungsi dan kehilangan sebagian anggota keluarga dan rakyatnya.
Sanggar adalah satu dari tiga kerajaan yang berada di lereng Gunung Tambora. Dua kerajaan lainnya, yaitu Tambora dan Pekat, yang disebut dalam berbagai literatur telah musnah akibat letusan tersebut.
Kini, Sanggar adalah nama kecamatan yang tidak gampang ditemukan dalam peta Nusantara. Letaknya jauh di Pulau Sumbawa, kalah pamor dengan Bima atau Tambora yang melegenda. Tapi, di sinilah sejarah peradaban yang nyaris tamat akibat letusan Gunung Tambora masih bisa ditemukan sisanya.
Begitu memasuki Sanggar, Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat, kereta kuda mendominasi jalanan. Kereta itu mengangkut segalanya, mulai dari penumpang hingga barang. Roda-roda kereta itu terseok di jalan aspal hitam penuh bopeng. Lubang menganga nyaris tiap sepuluh meter, menjadi ironi tentang kemajuan setengah hati.
Benhur Dalam Bahasa Mbojo (Bima-Dompu) |
Nuansa kampung dengan kuda-kudanya itu adalah satu yang tersisa dari jejak Semenanjung Sanggar masa lampau. Nyaris tak ada lagi jejak kejayaan, yang oleh antropolog Bernice de Jong Boers (Mount Tambora in 1815: A Volcanic Eruption in Indonesia and Its Aftermath, 1994), disebut sebagai daerah pengekspor beras, madu, burung, kuda, garam, kapas, dan kayu sepang.
Bernice de Jong Boers menyatakan beberapa orang yang selamat mengungsi ke Ngembe (sekarang Desa Ngembe, Kecamatan Bolo, Bima). Koreh (Kore), ibu kota dan pelabuhan Sanggar di pantai utara, yang sangat terkenal akan perdagangan dan ekspor kudanya, tak pernah bisa dipulihkan ke kondisi semula.
Upaya mengungkap peradaban masa lalu di Semenanjung Sanggar memang tak gampang, karena masyarakat Sanggar yang tersisa saat ini seperti tercerabut dari akar budaya mereka. Jejak peradaban di Semenanjung Sanggar, lebih banyak muncul dalam bentuk artefak dan tulang-belulang yang terkubur material letusan Gunung Tambora hampir 200 tahun lalu, dan baru mulai digali kembali pada 2004 oleh Haraldur Sirgurdsson, vulkanolog dari Universitas Rhode Island, Amerika Serikat.
Penggalian yang kemudian diteruskan para arkeolog Indonesia hingga saat ini. Namun, upaya merekonstruksi peradaban masa lalu ini masih sulit karena luasnya area yang tertutup awan panas, dibandingkan upaya penggalian yang ”hanya” 25 meter persegi tiap tahunnya.
Sebelumnya, cerita soal peradaban masa lalu di lereng gunung itu dilestarikan masyarakat Sanggar dalam bentuk dongeng. ”Kami inilah suku Kore dari Kerajaan Sanggar, pewaris kecantikan legenda Putri Dae Minga,” kata Suhada M Saleh (55), tokoh masyarakat Sanggar.
Dalam cerita rakyat Sanggar, Dae Minga adalah putri cantik dari Kerajaan Sanggar yang rela dibuang ke kawah Gunung Tambora demi mencegah peperangan, karena dia menjadi rebutan pangeran kerajaan-kerajaan sekitarnya. Legenda ini diyakini hingga kini dan semakin menguatkan hubungan antara Sanggar modern dengan ”kerajaan gaib” Tambora di puncak Gunung Tambora.
Beberapa cerita tentang adanya kerajaan di puncak Gunung Tambora itu banyak diwartakan para pencari madu dan pencari kayu dari Sanggar. ”Kakek saya, Goni, pernah hilang enam bulan di Gunung Tambora, pulangnya dia menceritakan adanya kerajaan dengan masyarakatnya yang sejahtera dan lebih maju dari kita,” kisah Suhada. ”Ketika pulang, ada lubang di telinga kakek saya itu.”
Tak hanya kakek Suhada, para pencari madu di lereng Gunung Tambora sering membawa kisah seperti ini, yang menunjukkan hubungan yang kuat antara orang Sanggar dengan peradaban Semenanjung Sanggar sebelum letusan. Temuan alat tenun yang telah menjadi arang di lubang penggalian bekas Kerajaan Tambora di Desa Oi Bura, Kecamatan Tambora, Bima, semakin mengonfirmasi hal itu.
Lira atau bilah kayu asam untuk menenun yang warnanya hitam kelam dan alat pemintal benang yang disebut janta, yang masih dimiliki Suhada dan diwarisinya dari leluhurnya, menunjukkan kesamaan dengan alat tenun yang digali para arkeolog.
Sampai sekarang, masih banyak yang menyimpan alat tenun ini walau sebagian sudah rusak. Bagi perempuan Sanggar, alat tenun ini hingga kini masih dianggap sebagai senjata. Kami juga punya tarian yang melambangkan perempuan-perempuan menggunakan lira sebagai senjata,” kata Suhada.
Selain alat tenun, warga juga meyakini lesung berusia ratusan tahun di Desa Boro, Kecamatan Sanggar, sama bentuknya dengan yang ada di Tambora. Warga Sanggar secara rutin masih memainkan lesung itu dalam pertunjukan Kareku Kandei di berbagai acara hajatan.
Dari temuan Balai Arkeologi Denpasar, yang dipimpin Made Geria, di lubang ekskavasi Oi Bura, menunjukkan bahwa beberapa temuan di sana memang mengindikasikan ada kemiripan antara Tambora dan Sanggar. Bahkan, tim peneliti ini sering mendiskusikan berbagai temuan di lubang penggalian ke salah satu warga Sanggar yang masih paham soal budayanya, As’ad (32), seorang guru di SMAN 1 Sanggar.
”Kemiripan yang ditemukan seperti alat tenun, sama yang ditemukan di Desa Boro, di alat tenun itu biasanya disimpan benang menggunakan anyaman dengan daun lontar. Ditemukan juga lesung, ukirannya sama dengan di Kore, Sanggar,” kata As’ad.
Ukiran di pojok dinding rumah yang ditemukan di lubang ekskavasi juga sama dengan rumah di Sanggar. ”Model rumah panggung juga sama, rumah panggung dengan enam tiang yang disebut pa’a sekolo,” kata As’ad.
Kesamaan benda-benda arkeologis di lubang galian Kerajaan Tambora dengan barang yang dimiliki warga Sanggar saat ini menguatkan, adanya anyaman sejarah di antara keduanya.
Jika tulang-belulang dan berbagai artefak yang ditemukan di lubang galian Desa Oi Bura adalah bukti mati yang berkisah, kehidupan di Sanggar adalah artefak yang hidup. Keduanya, sama-sama penting untuk diungkap lebih lanjut oleh para peneliti untuk membuktikan keberadaan peradaban yang terkubur oleh letusan sebuah gunung berapi.
0 komentar:
Post a Comment