11.28.2013

Ketua Majelis Adat Kesultanan Bima Sara Dana Mbojo atau yang dikenal dengan Ruma Bumi Partiga yaitu Dr. Hj. St. Maryam M. Salahuddin, SH, MH melantik H. Ferry Zulkarnaen, ST sebagai Sultan Bima ke- XVI  di Museum Asi Mbojo,
prosesi pelantikan Dae Ferry
Prosesi Tuha rlanti (pelantikan) Bupati Bima sebagai Sultan Bima tersebut dihadiri para Raja dan Sultan, seperti Kesultanan Burnai Darusalam, Sultan Malaysia, para sultan yang tergabung dalam forum Sultan Nusantara, tokoh budaya, Wakil Gubernur NTB H. Badrul Munir, MM, Bupati dan Walikota se- NTB.

Ketua Majelis Adat Kesultanan Bima Sara Dana Mbojo, Hj. St Maryam dalam sambutannya mengatakan, upacara adat tuha ro lanti Sultan Bima ke XVI dilakukan untuk melestarikan nilai luhur budaya bangsa, sebagai pembelajaran generasi muda terhadap nilai - nilai kearifan lokal Dana Mbojo, sebagaimana lazimnya acara pelantikan Kesultanan Bima yang dilakukan secara turun temurun. “Pelantikan Sultan Bima ke-XVI ini, lebih bermakna dikemas mirip seperti pelaksanaan yang sesungguhnya tempo dulu dalam bentuk upacara “Tuha Ro Lanti” sehingga masyarakat dapat mengenal peradaban dan adat budaya yang telah terjadi di masa lalu,” jelasnya.

Tujuan pelantikan atau Tuha Ro lanti Ferry Zulkarnaen sebagai Sultan Bima, juga sebagai ajang promosi dan sosialisasi seni budaya daerah Bima serta menumbuhkembangkan atraksi- atraksi seni dan budaya tradisional Bima yang saat ini mulai pudar di tengah - tengah kehidupan masyarakat Bima.

Sementara Wagub NTB, H. Badrul Munir mengatakan, pelantikan Kesultanan Bima ke XVImerupakan prosesi yang sangat bersejarah yang sungguh tidak mungkin bisa terlupakan oleh sejarah Dana Mbojo. “Atas nama Pemprov NTB memberikan apreasiasi atas terselengggaranya acara pelantikan Kesultanan Bima karena acara seperti ini memberikan nilai sejarah bagi kita semua,”  katanya.

Menurutnya, sangat keliru ketika masyarakat tidak melestarikan adat dan budaya. Pelantikan Sultan Bima bisa dijadikan acuan seluruh lapisan masyarakat di wilayah Kabupaten Bima untuk lebih mengenal dan mengetahui sejarah dana Mbojo yang hakiki.

Kata dia, Kesultanan Bima telah memberikan konstribusi begitu banyak untuk bidang pembangunan terlabih lagi konstribusi untuk kemajuan pembangunan peradaban dalam nilai- nilai agama terlebih lagi kemajuan dalam bidang kebudayaan.

“Mari kita bangun kekompakkan secara utuh membangu Dou Labo Dana Mbojo yang lebih maju yang agamais dan memiliki prinsip kehidupan yang selalu menjunjung tinggi etika dan estetika sesuai dengan kultur adat dan budaya yang dimiliki,” harapnya.

Liputan para wartawanilustrasi acara Tuha Ro Lanti Sultan Bima yang ke XVI diawali bunyi lonceng dari lere-lere sebanyak 7 kali yang diawali dengan pembacaan Qalam Illahi, setelah itu genderang suara tambu dibunyikan, rombongan Ncuhi memasuki arena menuju puncak (dana Ma babuju) untuk melakukan musyauwarah dan pada saat para Ncuhi mengadakan Musyawarah rombongan “Jena Teke” mulai berangkat dari ASI Serasuba yang diawali empat orang Sere, Kalila, Jena Teke, pasukan suba, perangkat jeneli dan bumi-bumi serta kelaurga.

Setelah itu, Ncuhi Dara memimpin musyawarah dengan para ncuhi-ncuhi masing- masing Ncuhi Dorowuni, Ncuhi Bolo, Ncuhi Banggapupa, Ncuhi Parewa diatas Dana ma Babuju hingga sampai pada kata sepakat bahwa Jena Teke pantas untuk diangkat mejadi Sultan Bima XVI dan setelah para Ncuhi menyepakati Jena Teke diangkat menjadi Sultan Bima ke XVI.

Selanjutnya, Ncuhi Dara berdiri diatas “Dana Ma Babuju” sembari berteriak kepada masyarakat yang hadir untuk memberitahukan kesepakatan dimaksud. Setelah dibalas teriakan setuju dan sambutan asma Allah secara bergantian oleh masyarakatdilakukanlah pelantikan Jena Teke untuk menjadi Sultan Bima dengan memasang Mahkota dan keris Samparaja oleh Bumi Partiga

11.16.2013

Legenda La Hila di Tanah Donggo Bima

Di zaman dulu, hidup seorang putri di Kala, Donggo. Namanya La Hila. Cantik jelita. Kulitnya putih bersih. Lehernya berjenjang. Jika makan dan minum, tampaklah makanan dan minuman yang ditelan. Alis sang putri seperti semut beriring. Rambutnya panjang terurai. Jika sang putri mandi keramas atau mencuci rambut, dibutuhkan tujuh belah jeruk bundar (dungga mbolo) serta tujuh belah kelapa atau tiga setengah butir.Manakala sang putri mengeringkan rambutnya, diperlukan tujuh galah panjang untuk menjemurnya.

Gadis ini belakangan akrab dipanggil La Hila atau Sang Putri yang Hilang. Ceritanya bermula ketika kabar mengenai kecantikan La Hila terkenal seantero negeri hingga ke kerajaan seberang. Banyak pemuda yang ingin meminangnya. Para pemuda itu merasa cemburu dan berujung pada keributan di antara mereka.

Paman dan bibi La Hila mencium bahaya besar jika keadaan dibiarkan berlarut-larut. Untuk menghindari bahaya yang lebih besar, La Hila diminta untuk menyembunyikan diri. Rencana paman dan bibinya tersebut tidak disampaikan ke orang tua La Hila. La Hila setuju bersembunyi. Dia minta paman dan bibinya membuat lubang persembunyian dalam tanah, semacam bunker. La Hila minta supaya disertakan pula perangkat menenun dalam lubang persembunyiannya.

Pagi-pagi La Hila masuk ke dalam lubang yang sudah disiapkan. Sore harinya paman dan bibinya mengantar makanan. Esok harinya, keduanya kembali mengantar makanan La Hila. Alangkah kagetnya mereka karena tidak menemukan La Hila di tempatnya. Hanya ada alat menenun saja di situ. Paman dan bibinya sangat sedih. Bibinya menangis seraya mencabut pucuk rebung yang tumbuh dekat lubang persembunyian La Hila. Anehnya, rebung tersebut mengeluarkan darah. Disaat bersamaan terdengar teriakan menahan sakit. Namun orang yang berteriak tidak tampak. Bunyi teriakannya, “Jangan dicabut, sakit bibi. Ini saya bibi. Saya sudah menjadi rebung”. Tentu saja pasangan suami istri itu kaget bukan alang kepalang. La Hila lalu berpesan kepada paman dan bibinya, “Bambu ini jangan dirusak. tolong dijaga hingga anak cucu”.

Mengetahui anaknya sudah hilang, ibunda La Hila mendatangi lubang persembunyian anaknya. Dia menangis mengelilingi pohon rebung tersebut seraya bernyanyi. Itulah asal mula “Kalero“, musik khas Donggo.

Rimbunan bambu jelmaan La Hila masih ada di O’o, namun tidak lagi terpelihara seperti pesan La Hila. Masyarakat setempat menebangnya untuk aneka keperluan seperti untuk perlengkapan membangun rumah.

11.09.2013

legenda wadu ntanda rahi,di Desa Taloko Kec.Sanggar Kab.Bima

pagi teman-teman kali ini saya akan membagi cerita mengenai legenda wadu ntanda rahi yang berada di desa taloko kecamatan sanggar kabupaten bima.

legenda ini menceritakan tentang kesetiaan seorang istri kepada sang suaminya akhirnya menjadi batu, cerita ini berasal dari Dana Mbojo ( Bima / DOMPU )

Cerita legenda Wadu Ntanda Rahi diyakini banyak terdapat di seluruh pelosok Mbojo. Masyarakat Sanggar khususnya taloko meyakini bahwa di sanalah tempat cerita Wadu Ntanda Rahi itu. Namun Inti atau hakikat ceritanya hanyalah satu yaitu tentang kesetiaan seorang istri dalam mengarungi bahtera hidup berumah tangga. Ia menjadi batu karena ingin mengabdikan cinta dan kesetiaannnya kepada sang Suami yang telah merantau dan tenggelam di lautan luas

Pada suatu hari seorang istri yang sangat menyayangi sang suami, pergi keatas bukit gunung untuk melihat suaminya yang pergi berlayar.Tapi sebelum dia pergi ke atas bukit banyak orang-orang di tempatnya itu yang melarang dia untuk naik keatas sana namun dia tidak mendengarkan dan tidak menghiraukan nasehat dari orang-orang itu, malah menjalankan keinginannya itu untuk melihat suaminya walaupun banyak orang yang melarang, dia tidak perduli dengan semua itu.

Akhirya dia kesana dengan keinginan yang tinggi karena semua ini yang dia lakukan adalah sebagai tanda pengabdian dan kesetiaan terhadap sang suami.Setelah sampai di atas bukit gunung dia berdiri dengan lelah, cemas, bahkan melamun sambil memikir dan melihat kearah tempat sang suaminya berlayar … 

Akhirya seorang istri itu berubah menjadi batu hingga sampai sekarang ini, entah apa kesalahan dan dosa yang dia perbuat sehingga dia bisa berubah menjadi batu … 

Mulai waktu itulah orang-orang disekitar itu memberi nama kepada batu tadi dengan Wadu Ntanda Rahi ( Batu Memandang Suami)

wadu : batu > ntada : melihat/memandang > rahi : suami

10.09.2013

Makna Lambang Kab.Dompu baru

Perisai 
menggambarkan jiwa kepahlawanan rakyat Daerah Kabupaten Dompu didalam mempertahankan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945.


WARNA BIRU LAUT
Warna biru laut melukiskan bahwa Daerah Kabupaten Dompu diapit oleh tiga buah teluk (Teluk Cempi, Teluk Saleh, dan Teluk Sanggar) yang merupakan salah satu sumber penghasilan rakyat bagi peningkatan taraf hidupnya.



BINTANG
Bintang melukiskan pancaran Pancasila yang merupakan falsafah kehidupan bangsa dan negara.



WARNA KUNING EMAS
Warna kuning emas melambangkan kejayaan cita-cita perjuangan rakyat untuk menegakkan keadilan dan kebenaran.



BUNGA KAPAS dan BULIR PADI
Bunga kapas dan bulir padi melukiskan bahan pokok bagi kemakmuran rakyat.



RANTAI
Rantai melambangkan persatuan dan kegotong-royongan.
17 Kuntum Bunga Kapas, 8 Mata Rantai dan 45 Butir Padi
Melambangkan detik proklamasi 17 Agustus 1945



KUBAH MASJID
Kubah masjid yang berwarna putih melambangkan rakyat daerah kabupaten Dompu yang taat dan patuh dalam menjalankan perintah-perintah Agama.



GUNUNG
Gunung menjulang tinggi yang berwarna biru tua melambangkan harapan kemakmuran bagi rakyat kabupaten Dompu.



DATARAN
Dataran yang berwarna hijau melambangkan kesuburan bagi daerah kabupaten Dompu sebagai daerah agraris.



KUDA
Kuda yang berlari bebas berwarna putih kemerah-merahan (Jara Gunu Kala) menggambarkan tekad dan semangat daerah kabupaten Dompu didalam mengejar ketinggalan di masa silam, disamping itu pula melambangkan daerah kabupaten Dompu selain daerah agraris juga merupakan daerah peternakan.



PITA KUNING
Pita yang berwarna kuning dengan tulisan yang berwarna hitam dalam bahasa daerah 'NGGAHI RAWI PAHU' melukiskan tekad masyarakat daerah kabupaten Dompu didalam melaksanakan arti dan makna kata-kata hikmah yang turun-temurun berupa 'NGGAHI RAWI PAHU' yang berarti satunya kata dan perbuatan dalam mewujudkan kenyataan.



TULISAN DOMPU
Tulisan Dompu yang berwarna putih adalah nama daerah kabupaten Dompu yang secara historis merupakan daerah otonom sejak dahulu.


10.08.2013

Hubungan Kerajaan Bima dengan Kerajaan Gowa-Makassar



Hubungan Darah Bima-Bugis-Makassar
Arus modernisasi dan demokratisasi disegala bidang kehidupan telah mempengaruhi cara pandang dan cara berpikir seluruh element masyarakat. Hubungan keakrabatan antar etnis dan bahkan hubungan darah sekalipun terpisahkan oleh tembok modernisasi dan demokrasi hari ini. Hubungan keakrabatan dan kekeluargaan yang terjalin selama kurun waktu 1625 – 1819 (194 tahun) pun terputus hingga hari ini. Hubungan kekeluargaan antara dua kesultanan besar dikawasan Timur Indonesia yaitu Kesultanan Gowa dan Kesultanan Bima terjalin sampai pada turunan yang ke- VII. Hubungan ini merupakan perkawinan silang antara Putra Mahkota Kesultanan Bima dan Putri Mahkota Kesultanan Gowa terjalin sampai turunan ke- VI. Sedangkan yang ke- VII adalah pernikahan Putri Mahkota Kesultanan Bima dan Putra Mahkota Kesultanan Gowa. Berikut urutan pernikahan dari silsilah kedua kerajaan ini :




  1. Sultan Abdul Kahir (Sultan Bima I) menikah dengan Daeng Sikontu, Putri Karaeng Kasuarang, yang merupakan adik iparnya Sultan Alauddin pada tahun 1625. dari pernikahan ini melahirkan Sultan Abil Khair (Sultan Bima ke-II)
  2. Sultan Abil Khair (Sultan Bima ke- II) menikah dengan Karaeng Bonto Je'ne. Adalah adik kandung Sultan Hasanuddin, Gowa pada tanggal 13 April 1646. dari pernikahan ini melahirkan Sultan Nuruddin (Sultan Bima ke-III) pada tahun 1651.
  3. Sultan Nuruddin (Sultan Bima ke-III) menikah dengan Daeng Ta Memang anaknya Raja Tallo pada tanggal 7 mei 1684. dari pernikahan tersebut melahirkan Sultan Jamaluddin (Sultan Bima ke-IV)
  4. Sultan Jamaluddin (Sultan Bima ke IV) menikah dengan Fatimah Karaeng Tanatana yang merupakan putri Karaeng Bessei pada tanggal 8 Agustus 1693. dari pernikan tersebut melahirkan Sultan Hasanuddin (sultan Bima ke- V).
  5. Sultan Hasanuddin (Sultan Bima ke- V) menikah dengan Karaeng Bissa Mpole anaknya Karaeng Parang Bone dengan Karaeng Bonto Mate'ne, pada tanggal 12 september 1704. dari pernikahan ini melahirkan Sultan Alaudin Muhammad Syah pada tahun 1707 (Sultan Bima ke- VI)
  6. Sultan Alaudin Muhammad Syah (Sultan Bima ke- VI) menikah dengan Karaeng Tana Sanga Mamonca Raji putrinya sultan Gowa yaitu Sultan Sirajuddin pada tahun 1727. pernikahan ini melahirkan Kumala Bumi Pertiga dan Abdul Kadim yang kemudian diangkat menjadi Sultan Bima ke- VII pada tahun 1747. ketika itu beliau baru berumur 13 tahun. Kumala Bumi Pertiga putrinya Sultan Alauddin Muhammad Syah dengan Karaeng Tana Sanga Mamonca Raji ini kemudian menikah dengan Abdul Kudus Putra Sultan Gowa pada tahun 1747. dan dari pernikahan ini melahirkan Amas Madina Batara Gowa ke-II. Sementara Sultan Abdul Kadim yang lahir pada tahun 1729 dari pernikahan dari pernikahannya melahirkan Sultan Abdul Hamid (Sultan Bima ke- VIII). Sultan Abdul Hamid (La Hami) dilahirkan pada tahun 1762 kemudian diangkat menjadi sultan Bima tahun 1773.
  7. Sultan Abdul Kadim (Sultan Bima ke- VII) dari pernikahannya (Istrinya tidak terlacak oleh dalam referensi sejarah yang kami baca- mohon Maaf) melahirkan Sultan Abdul Hamid pada tahun 1762 dan Sultan Abdul Hamid diangkat menjadi Sultan Bima ke- VIII pada tahun 1773.
  8. Sultan Abdul Hamid (Sultan Bima ke- VIII) dari pernikahannya (Istrinya tidak terlacak oleh dalam referensi sejarah yang kami baca- Mohon Maaf) melahirkan Sultan Ismail pada tahun 1795. ketika sultan Abdul Hamid meninggal dunia pada tahun 1819, pada tahun ini juga Sultan Ismail diangkat menjadi Sultan Bima ke- IX
  9. Sultan Ismail (Sultan Bima ke- IX) dari pernikahannya (Istrinya tidak terlacak oleh dalam referensi sejarah yang kami baca- Mohon Maaf) melahirkan sultan Abdullah pada tahun 1827
  10. Sultan Abdullah (Sultan Bima ke- X) menikah dengan Sitti Saleha Bumi Pertiga, putrinya Tureli Belo. Dari pernikahan ini abdul Aziz dan Sultan Ibrahim.
  11. Sultan Ibrahim (Sultan Bima ke- XI) dari pernikahannya melahirkan Sultan Salahuddin yang kemudian diangkat menjadi Sultan Bima ke- XII pada tahun 1888 dan memimpin kesultanan hingga tahun 1917.

  12. Sultan Salahuddin (Sultan Bima ke- XII) sebagai Sultan Bima terakhir dari pernikahannya melahirkan Abdul Kahir II (Ama Ka'u Kahi) yang biasa dipanggil dengan Putra Kahi dan St Maryam Rahman (Ina Ka'u Mari). Putra Kahir ini kemudian Menikah dengan Putri dari Keturunan Raja Banten (Saudari Kandung Bapak Ekky Syachruddin) dan dari pernikahannya melahirkan Bapak Fery Zulkarnaen

 Adalah sangat Ironi memang jika pada hari ini generasi baru dari kedua Kesultanan Besar ini kemudian tidak saling kenal satu sama lain. Bahkan pada zaman kerajaan, pertumbuhan dan perkembangan penduduk Gowa dan Bima merupakan Etnis yang tidak bisa dipisahkan dan bahkan masyarakat Gowa pada umumnya tidak bisa dipisahkan dengan Etnis Bima (Mbojo) sebagai salah satu Etnis terpenting dalam perkembangan kekuatan kerajaan Gowa. Dari catatan sejarah yang dapat dikumpulkan dan dianalisa, hubungan kekeluargaan antara kedua kesultanan tersebut berjalan sampai pada keturunan ke- IX dari masing-masing kesultanan, dan jika dihitung hal ini berjalan selama 194 tahun. Dari data yang berhasil dikumpulkan, dapat disimpulkan bahwa hubungan kesultanan Bima dan Gowa dengan pendekatan kekeluargaan (Darah) terjalin sampai pada tahun 1819. Analisa ini berawal dari pemikiran bahwa ada hubungan darah yang masih dekat antara Amas Madina Batara Gowa Ke- II anaknya Kumala Bumi Pertiga dengan Sultan Abdul Hamid (Sultan Bima ke- VIII). Karena keduanya masih merupakan saudara sepupu satu kali. Bahkan ada kemungkinan yang lebih lama lagi hubungan ini terjalin. Yaitu ketika Sultan Abdul Hamid meninggal pada tahun 1819 dan pada tahun itu juga langsung digantikan oleh putra mahkotanya yaitu Sultan Ismail sebagai sultan Bima ke- IX. Karena Sultan Ismail ini kalau dilihat keturunannya masih merupakan kemenakan langsungnya Amas Madina Batara Gowa Ke- II, jadi hubungan ini ternyata berjalan kurang lebih 194 tahun.
Pada beberapa catatan yang kami temukan, bahwa pernikahan Salah satu Keturunan Sultan Ibrahim (Sultan Bima ke- XI) masih terjadi dengan keturunan Sultan Gowa. Sebab pada tahun 1900 (pada kepemimpinan Sultan Ibrahim), terjadi acara melamar oleh Kesultanan Bima ke Kesultanan Gowa. Mahar pada lamaran tersebut adalah Tanah Manggarai. Sebab Manggarai dikuasai oleh kesultanan Bima sejak abad 17. Namun, pada catatan sejarah tersebut tidak tercatat secara jelas.(dari berbagai sumber)




9.13.2013

Benteng Pertama di Bima,Peninggalan Belanda


bekas benteng Asa Kota Mbojo

Benteng Asa Kota berlokasi di Desa Punti Kecamatan Soromandi. Benteng ini merupakan bekas Benteng pertahanan Belanda untuk Bima. Ditemukan sekitar tahun 1908.

Benteng Asa Kota ini terdiri dari batu bersusun yang dulu diambil dari berbagai tempat di daerah Bima. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan kesan kuat dan kokoh serta menandakan bahwa benteng ini dapat melindungi masyarakat Mbojo.

Barang peninggalan sejarah yang masih tersisa adalah Meriam Kuno yang disebut La Nggali Nggoma. La Nggali artinya Mahal, dan Nggoma artinya Kudis. Meriam ini merupakan meriam induk yang dipasang di sebelah Barat yang menghadap utara yaitu mengarah ke Asa Kota atau Pintu Masuk Kota di teluk Bima.
 
Meriam La Nggali
Selain meriam kuno, disini kita juga bisa melihat bekas benteng pertahanan berupa susunan batu-batu yang terlihat sepanjang tebing pantai. Ompu Daga alias Ompu Nggambi adalah penguasa wilayah Benteng Asa Kota ini pada masa itu.

Suku Sambori,Suku Asli Bima

 
Tempat tinggal Suku Sambori
Desa Sambori adalah sebuah desa tradisional. Di Sambori ini didiami oleh suku asli Bima yang disebut Dou Donggo Ele (Orang Donggo yang tinggal di sebelah timur teluk Bima). Secara historis orang bima atau dou mbojo dibagi dalam 2 (dua) kelompok.Kelompok pertama masyarakat: Asli dan kelompok kedua Masyarakat Pendatang.

Masyarakat donggo atau dou mbojo adalah merupakan masyarakat yang paling lama mendiami Daerah Bima dibandingkan dengan suku lain mereka bermukim didaerah pemukiman di daratan tinggi yang jauh dari pesisir, memiliki bahasa adat istiadat yang berbeda dengan orang Bima atau Dou mbojo pada umumnya. Dou donggo mendiami lereng-lereng gunung Lambitu yang di sebut Dou Donggo Ele sementara Dou Donggo yang mendiami lereng gunung soromandi disebut Dou Donggo Ipa, mereka tinggal disuatu perkampungan dengan rumah adat disebut Lengge di kelilingi pegunugan dan pembukitan serta panorama alam yang indah dan menarik untuk di nikmati.

Falsafah hidup Dou Donggo Ele dan Dou Donggo Ipa senang hidup dalam kondisi pegunungan dan daratan tinggi. Rumah dibangun sangat tinggi sekitar 6 sampai 7 meter dengan ukuran kecil sekitar 3×4 meter dengan maksud untuk menyimpan panas, mata pencahariannya dengan berladang dan beburu. Rasa kekeluargaan dan sukuisme serta sifat gotong royong sangat eratdan rumahnya pub di sebut dengan uma lengge.

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Lady Gaga, Salman Khan